MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Ralph Tyler
Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles Curriculum and Instruction (1949), Tyler mengatakan bahwa curriculum development needed to be treted logically and systematically. Ia berupaya menjelasskan tentang pentingnya pendapat secara rasional, menganalisis, menginterpretasi kurikulum dan program pengajarannya dari suatu pengajaran dari suatu lembaga pendidikan. Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya (seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari para educator.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum:
a. Langkah l: Tyler merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar mengidentifikasikan tujuan umum (tentative general objectives) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat (fimgsi yang diperlukan) dan subject matter.
b. Langkah 2: Setelah mengidentifikasi beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi belajar. Hasilnya akan menjadi Tujuan pembelajaran khusus dan meyebutkannya juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagai saringan pertama untuk tujuan iniSelanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat dan mengilustrasikannya dengan memberi tekanan pada empat tujuan demokratis. Untuk melaksanakan penyaringan, para pendidik harus menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang baik, dan psikologi belajar memberikan ide mengenai jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan secara efesien. Tyler pun menyarankan agar pendidik memberi perhatian kepada cara belajar yang dapat :
1) Mengembangkan kemampuan berpikir
2) Menolong dalam memperoleh informasi
3) Mengembangkan sikap masyarakat
4) Mengembangkan minat
5) Mengembangkan sikap kemasyarakatan
c. Langkah 3: Menyeleksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman belajar harus mempertimbangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimililiki oleh peserta didik.
d. Langkah 4: Mengorganisasikan pengalaman kedalam unit-unit dan menggambarkan berbagai prosedur evaluasi
e. Langkah 5:Mengarahkan dan mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengkaitkannya dengan evaluasi terhadap keefektifan perencanaan dan pelaksanaan.
f. Langkah 6: Evaluasi pengalaman belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kurikulum
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler (1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten (isi) pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman-pengalaman belajar, karena pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten (isi) dan kegiatan belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus bermuara pada pemberian pengalaman para pelajar yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas (sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah).
2. Inverted Model Hilda Taba
Pada beberapa buku karya Hilda Taba yang paling terkenal dan besar pengaruhnya adalah Curriculum Development: Theory and Pratice (1962). Dalam buku ini, Hilda Taba mengungkapkan pendekatanya untuk proses pengembangan kurikulum. Dalam pekerjaanya itu, Taba mengindetifasikan model dasar Tayler agar lebih representatif terhadap pengembangan kurikulum di berbagai sekolah. Model pengembangan kurikulum ini oleh Hilda Tiba ini berbeda dengan lazimnya yang banyak diitempuh secara yang bersifat dekduktif karena caranya induktif. Oleh Karena itu sring disebut “Model Terbalik” atau “Inverted Model” .
Pengembangan kurikulum model ini diawali dengan melakukan percobaan, penyusunan teori, dan kemudian baru ditetapkan. Hal itu diharapkan dimaksudkan untuk lebih mempertemukan antara teori dan pratik, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan yang terjadi dalam kurikulum yang dilakukan tanpa kegiatan percobaan. Dalam pendekatanya, Taba menganjurkanuntuk lebih mempunyai informasi tentang masukan (input) pada proses setiap langkah proses kurikulum, secara khusus, Taba mengajurkan untuk menggunakan pertimbangan ganda terhadap isi (organisasi kurikulum yang logis) dan individu pelajar (psikologis kurikulum). Untuk memperkuat pendapatanya, Taba mengkalim bahwa semua kurikulum disusun dari elemen-elemen dasar. Suatu kurikulum bisanya berisi seleksi dan organisasi isi; itu merupakan manisfetasi atau implikasi dari bentuk-bentuk (patterns) belajar dan mengajar. Kemudian, suatu program evaluasi dari hasil pun akan dialakukan.
Perekayasaan kurikulum secara tradisional dilakukan oleh suatu panitia yang dipilih. Panitia ini bertugas :
a. mempelajari daerah-daerah fundasional dan mengembangkan rumusan kesepakatan fundasional
b. merumuskan desain kurikulum secara menyeluruh berdasarkan kesepakatan yang telah dirumuskan
c. mengkonstruksi unit-unit kurikulum sesuai dengan kerangka desain
d. melaksanakan kurikulum pada tingkat atas.
Taba percaya bahwa esensial proses deduktif ini cendemng untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan inovasi kreatif, sebab membatasi kemungkinan mengeksperimentasikan konsep-konsep baru kurikulum.Taba menyatakan bahwa :
a. bila perubahan nilai dari mendesain ulang kerangka yang menyeluruh maka sebelumnya harus ditetapkan lebih dahulu suatu pola yang akan dipelajari dan diuji.
b. panitia penyusunan kurikulum yang tradisional itu dapat menduduld rencana-rencana kurikulum yang bermanfaat, bagian dari desain itu sendiri hanya atas dasar logika bukan empiric
c. karena mereka tidak melakukan pengujian secara empirik, kurikulum yang dihasilkan cenderung merupakan skema / sket bagan yang sangat umum dan abstrak dan sedikit membantu untuk melaksanakan praktek instruksional
Ketiga masalah tersebut menunjukkan efesiensi perekayasaan kurikulum yang tradisional dan kesenjangan antara teori dan praktek. Suatu contoh adanya disfungsi dalam teori praktek terdapat pada core kurikulum yang dirancang untuk mengajukan (1) Integrasi isi / materi, (2) Hubungan dengan kebutuhan siswa-Jalannya praktek core tersebut umumnya hanya merupakan reorganisasi administratif, block of time mata ajaran-mata ajaran yang terpisah-pisali, dan dimana masalah-masalah kehidupan terisolasi dari materi (content) yang valid. Bentuk core yang dilaksanakan berdasarkan rekayasa deduktif menghasilkan pemisahan teori dan praktek
Taba mengajukan pandangan yang berlawanan dengan urutan tradisional dengan mengembangkan inverted model, yakni : langkah awal dimulai dari perencanaan unit-unit mengajar-belajar yang spesifik oleh para guru, bukan diawali aengan desain kerangka (framework) yang umum. Urut-unit tersebut diuji / dilaksanakan dalam kelas, yang ada pada gilirannya digunakan sebagai dasar empirik untuk menentukan desain yang menyeluruh (overall design). Keuntungan digunakannya inverted sequence ini ialah :
a. membantu untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek karena produksi unit-unit tadi mengkombinasikan kemampuan teoritik dan pengalaman praktis.
b. kurikulum yang terdiri dari unit-unit mengajar-belajar yang disiapkan oleh guru-guru lebih mudah diintroduser ke sekolah, berarti lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan kurikulum yang umum dan abstrak yang dihasilkan oleh umtan tradisional
c. kurikulum yang terdiri dari kerangka umum dan unit-unit belajar-mengajar lebih berpengaruh terhadap praktek kelas dibandingkan dengan kurikulum yang ada
Langkah-langkah pengembangan kurikulum Hilda Taba (1962) mengemukakan perekayasaan kurikulum terdiri atas 5 langkah berurutan, ialah :
a. Langkah Pertama, Experimental Production of Pilot Units.
Kelompok tenaga pengajar membuat unit eksperiment sebagai ajang untuk melakukan studi tentang hubungan teori dan praktek. Untuk itu diperlukan (1) Perencanaan yang didasarkan atas teori yang kuat (2) Eksperimen didalam kelas yang dapat menghasilkan data empiris untuk menguji landasan teori yang digunakan. Hasil dari langkah ini berupa teaching-leaming unit yang masih bersifat draft yang siap diuji pada langkah berikutnya. Unit eksperimen ini dirancang melalui delapan kegiatan sebagai berikut :
1) Diagnosing needs
Tenaga pengajar mengidentifikasi masalah-masalah, kondisi, kesulitan serta kebutuhan-kebutnhan siswa dalam suatu proses pengajaran. Lingkup diagnosis tergantung pada latar belakang program yang akan direvisi, termasuk didalamnya tujuan konteks dimana program tersebut difungsikan
2) Formulating Specific Objectives
Formulasi tujuan-tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum yang dimmuskan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi yang menjadi titik berat pada teaching leaming unit. Namun demikian tidak semua tujuan khusus tersebut dapat tercapai oleh masing-masing imit.
3) Selecting Content
Pemilihan isi (materi) berdasarkan kesepadanan dengan tujuan khusus, dan harus mempertimbangkan tingkat validitas dan signifikannya. Karena itu periu dilakukan seleksi terhadap tingkatan isi (materi) yang meliputi pemilihan topik utama, pemilihan ide-ide dasar dan pemilihan materi khusus.
4) Organizing Content.
Pengorganisasian materi dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan awal serta minat siswa. Pengorganisasian isi disusun dari konkrit keabstrak dan dari mudah ke sulit.
5) Selecting Learning Experiences (Avtivities).
Pengalaman belajar disusun dengan maksud terjadi interaksi antara siswa dan materi pelajaran. Karena setiap materi memiliki beberapa fungsi tertentu.
6) Organizing Leaming Experiences Avtivities
Pengalaman belajar siswa disusun dan diorganisasikan dengan sekuensi dan organisasi materi (content). Kegiatan belajar siswa diarahkan dari induktif kegeneralisasi dan abstraksi serta difokuskan pada pengembangan ide-ide utama, langkah-langkah perolehan konsep dan prilaku yang baik
7) Evaluating.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan unit oleh siswa. Hasil evaluasi berguna untuk menentukan tujuan, diagnosis kesulitan belajar, serta penilaian dalam rangka pengembangan dan revisi kurikulum.
8) Checking for Balance and Seguence
Setelah garis besar teaching leaming dirancang lengkap, selanjutnya perlu dicek konsistensi antara semua bagian yang berkenaan dengan keseimbangan dan urutan topik-topik yang telah tersusun atau unsur-unsur dalam unit tersebut
b. Langkah Kedua, Testing of Experimental Units
Teaching-leaming units yang dihasilkan pada langkah pertama perlu diujicobakan di kelas-kelas eksperimen pada berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan keyakinan terap bagi tenaga pengajar yang berbeda-beda gaya mengajar dan kemampuan melaksanakan pengajaran unit. Hasil uji coba menjadi masukan bagi penyempumaan draft kurikulum.
c. Langkah Ketiga, Revising dan Consolidating
Revisi dan penyempumaan draft teaching leammg units dilakukan berdasarkan data dan informasi yang terkumpul selama langkah pengujian. Pada langkah ini dilakukan pula penarikan kesimpulan (konsolidasi) tentang konsistensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan bersama oleh koordinator kurikulum dan ahli kurikulum. Produk langkah ini berupa teaching leaming units yang telah teruji di lapangan. Bila hasilnya sudah memadai, maka unit-unit tersebut dapat disebarkan dalam lingkup yang lebih luas.
d. Langkah Keempat Developing a Framework
Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum dilakukan guna menjamin :
1) Apakah ide-ide dan konsep-konsep dasar yang digunakan telah terakomodasi? Apakah lingkup isi telah memadai?
2) Apakah isi telah tersusun berurutan secara logis?
3) Apakah aktivitas pembelajarannya memberikan peluang untuk pengembangan keterampilan mtelektual dan pemahaman emosi secara kumulatif.
Pengembangan ini dilakukan oleh ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Produk dari langkah-langkah ini adalah dokumen kurikulum yang siap untuk diimplementasikan dan diidentifikasikan.
e. Langkah Keempat, Instalation and Desimination of The New Unit
Instalasi dan desiminasi adalah peresmian dan penyebarluasan kurikulum hasil pengembangan, sebagai sub sistem pada sistem sekolah secara menyeluruh. Tanggung jawab tahap ini dibebankan pada administrator sekolah. Penerapan kurikulum merupakan tahap yang ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Pada tahap ini harus diperhatikan berbagai masalah : seperti kesiapan tenaga pengajar untuk melaksanakan kurikulum di kelasnya, penyediaan fasilitas pendukung yang memadai, alat atau bahan yang diperlukan dan biaya yang tersedia, semuanya perlu mendapat perhatian dalam penerapan kurikulum agar tercapai hasil optimal.
3. D. K. Wheeler
Dalam bukunya yang cukup berpengaruh, Curriculum Process, Wheeler (1967) mempunyai argumen tersendiri pengembangan kurikulum (curriculum developers) dapat menggunakan suatu proses melingkar (a cycle process), yang namanya setiap elemen saling berhubungan dan bergantungan.
Pendakatan yang digunakan Wheeler dalam pengembangan kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah (phase)nya merupakan pengembangan secara logis terhadap model sebelumnya, di mana secara umum langkah tidak dapat dilakukan sebelum langkah-langkah sebelumnya telah diselesaikan. Sebagai mantan akademisi Univerrsity of Western Australia, Wheeler mengembangkan ide-idenya sebagimana yang telah dilakukan pleh Tayler dan Taba. Wheeler menawarkan lima langkah itu jika dikembangkan dengan logis temporer, akan menghasilkan suatu kurikulum yang efektif. Dari lima langkahnya ini, sangat tampak bahwa Wheeler mengembangkan lebih lanjut apa yang telah dilakukan Tyler dan Taba meski hanya dipresentasikan agak berbeda.
Langkah-langkah atau phases Wheeler (Wheeler’s phases) adalah:
Selection of aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan, dan sasarannya)
Selection of learning exprerinces to help achieve these aims, goals and objectives (seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan, dan sasaran.)
a. Selection of content through which certain types of experiences may be offered (Seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungking ditawarkan)
b. Organization and intergration of learning exprinces and content with respect to the teaching learning process (organisasi dan intergrasi pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar dan mengajar)
c. Evalution of esch phase and the problem of goals (evaluasi setiap fase dan masalah-masalah tujuan)
Kelebihangan dari model adalah :
a. Memasukan berbagi kematangan yang berhubungan dengan objectives
b. Struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
c. Menerapkan situasiasional analisys sebagai titik permulaan
Kekurangan dari model ini:
a. Wajahnya yang bersifat logis
b. Pengimplementasinya
4. Audrey dan Howard Nicholls
Dalam bukunya, developing curriculum: A Participial Guide (1978), Audrey dan Howard Nicholls mengembangkan suatu pendekatan yang cukup tegas mencakip elemen-elemen kurikulum dengan jelas dan ringkas. Buku tersebut sangat popular di kalangan pendidik, khususnya di Inggirs, di mana pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah sudah lama ada.
Nicholas menitik beratkan pada pendekatan pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk kurikulum yag munculnya dari adanya perubahan situasi. Mereka berpendapat bahwa :” …change should be planed and introduced on a rational and valid this according to logical process, and this has not been the case in the vast majority of changes that have already taken place”
Audrey dan Nichllos mendifisikan kembali metodenya Tyler, Taba, Wheeller dengan menekan pada kurikulum proses yang bersiklus atau bentuk lingkaran, dan ini dilakuakan demi langkah awal, yaitu analisis situasi (situasional analysis). Kedua penulis ini mengukapkan bahwa sebelum elemen-elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas, konteks dan situasi di mana keputusan kurikulum itu harus dibuat harus diperrtimbangkan dengan secara mendetail dan serius. Dengan demikian, analisis situasi menjadi langkah pertama (preliminary stage) yang membuat para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan.
Terdapat lima langkah atau tahap (stage) yang diperlukan dalam proses pengembangan secara kontinu (continue curriculum process). Langkah-langkah terbut menurut Nicholls adalah;
a. Situsional analysis(analisis situasional)
b. Selection of objectives (seleksi tujuan)
c. Selection ang organization of content (seleksi dan organisasi isi)
d. Selction and organization of methods (seleksi dan organisasi metode)
e. Evaluation (evaluasi)
Masuknya fase analisis situasi (situasioanal analysis) merupakan suatu yang disengaja untuk memaksa para pengembang kurikulum lebih reposintif terhadap lingkungan dan secara khusus dengan kebutuhan anak didik, kedua penulis ini menekankan perlunya memakai pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendiagnosis semua faktor menyangkut semua situasi dengan diikuti penggunaan pengetahuan dan pengertian yang berasal dari analisis tersebut dalam perencanaan kurikulum.
Audery dan Nicholls mendefinisikan kembali metodenya Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan pada kurikulum proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran, dan ini dilakukan demi langkah awal yaitu analisis situasi.
Lima langkah pengembangan kurikulum menurut Audery dan Nicholls yaitu,
a. Analisis situas
b. Menentukan tujuan khusus
c. Menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran
d. Menentukan dan mengorganisasi metode
e. Evaluasi
Model pengembangan kurikulum D. K. Wheeler, Audery dan Howard Nicholls dikategorikan dalam Cycle Models yang mana dalam model ini juga mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Model pengembangan Wheeler dan Nicholls termasuk ke dalam model pengembangan kurikulum cycle models. Sama dengan rational models, maka cycle models ini juga memiliki beberapa kelebihan dan juga kelemahan. Adapun kelebihan dari cycle models adalah:
a. Memiliki struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
b. Dengan menerapkan situational analysis sebagai titik permulaan dapat memberikan dasar data sehingga tujuan-tujuan yang lebih efektif mungkin akan dikembangkan.
c. Melihat berbagai elemen kurikulum sebagai asal yang terus menerus, sehingga dapat menanggulangi situasi-situasi baru dan mempunyai konsekuensi untuk bereaksi terhadap perubahan situasi.
Sedangkan kelemahan dari cycle models adalah karena model ini memiliki beberapa kesamaan dengan rational model maka kelemahan yang dimiliki oleh model ini pun hampir sama dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Tetapi kelemahan yang lebih menonjol adalah membutuhkan banyak waktu untuk menganalisis situasi belajar. Melihat kondisi juga bahwa kebanyakan pendidik lebih suka mengandalkan intuisi daripada menggunakan basis data yang sistematis dan sesuai dengan situasi.
5. Decker Walker
Pada awal 1970, Decker Walker berpendapat bahwa objectives atau rational model dalam proses kurikulum ini tidak menerrima pendapat dalam literaratur yang tidak populer. Walker (1971) berpendapat bahwa pengemabangan kurikulum tidak mengikuti pendekatan yang telah ditetntukan dari urutan yang rational dari elemen-elemen kurikulum ketika mereka mengembangkan kurikulum. Lebih baik memprosesnya melalui tiga fase di dalam persiapan natural daripada dalam kurikulum.
Kesimpulan tersebut berasal dari analisis Walker terhadap laporan proyek kurikulum, seperti CHEM Stuidi, BSCS, SMSG serta partisipasi pribadinya dalam proyek kurikulum bidang kesenian. Analisis Walker menguraikan apa yang telah dilihat sebagai model alami dalam proses kurikulum. It is a naturalistic model in the sense that it was constructed to represent phenomena and realtions observed in actual curriculum projects faithfully as possible with a few terns and principles.
Ada empat fase dalam pengembangan model kurikulum ini yakni:
a. Fase pertama
Walker mempunyai argument bahwa pernyataan platform di organisasikan oleh para pengembang kurikulum dan pernyataan tersebut berisi serangkian ide, prefensi dan pilihan, pendapat, keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum. Aspek-aspek tersebut mungkin tidak definisikan atau secara logis, tapi mereka membrntuk basis platform sehingga kurikulum mendatang bisa dibuat oleh pengembang kurikulum (curriculum developers).
b. Fase kedua
Walker berpendaoat bahwa pengembang kurikulum tidak memula tugas dalam keadaan kosong (a blank state), nilai-nilai, konnsepsi, dan hal-hal pengembangan kurikulum sebagai menngindinkasikan adanya kesukaan den perlakuan sebagai dasar (paltfrom) mengembangkan kurikulum. Walker mengajurkan bahwa: The Platfrom includes an idea of what is ought to be and these guides the curriculum developer in the dertemining what should be do to realize his vision
c. Fase ketiga
Ketika interaksi di antara individu dimulai, mererka kemudian memasuki fase pertimabangan yang mendalam. Walker berpendapat bahwa selama fase ini, individu mempertahankan pertanyaan platform mereka sendiri dan menekanakan pada idde-ide yang ada. Berbagai peristiwa ini memberikan suatu (developers) juga beusaha menjelaskan ide-ide mereka mencapai suatu konsesus. Dari periode yang agak kacau, fase yang telah dipertimbangkan menghasilkan suatu ilmuniti yang penuh pertimbangan.
d. Fase keempat
Fase model terakhir Walker adalah menggunakan bentuk design. Pada fase ini, developers membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum. Keputusan akan dicapai setelah ada diskusi mendalam dan dikompromikan oleh individu-individu. Keputusan-keputusan itu kemudian deirekam dan menjadi basis data untuk dokumen kurikulum atau materi yang lebi spesifik.
6. Malcolm Skilbeck
Malkom Skilback, direktur Pusat Pengembangan Kurikulum Austalia ( Australia’s Curriculum Development Center), mengembangkan suatu interaksi altertnatif atau model dinamis bagi suatu interaksi alternatif atau model dinamis bagi model proses kurikulum. Dalam sebuah artikelnya, Skilbeck (1976) mengajurkan suatu pendekatan dan mengembangkan kurikulum pada tingkat sekolah. Pendapatnya mengenai sekolah di dasarkan pada pengembangan kurikulum (SCBD), sehingga Skilbeck memberikan suatu model yang membuat pendidik dapat mengembangkan kurikulum secara tepat dan realistic. Dalam hal ini, Skilbeck memepertimbangkan model dynamic in nature.
Model dinamis atau interaktif (dyanamic or interactive models) menetapakan pengembangan kurikulum harus mendahulukan sustu elemen kurikulum dan memualianya dengan suatu dari urutan yang telah ditetntukan dan diajurkan oleh model rasional. Skilbeck mendukung petunjuk tersebut, menambahkan sangat penting bagi developers untuk menyadari sumber-sumber tujuan mereka. Untuk mengetahui sumber-sumber tersebut, Skilbeck berpendapat bahwa “a situasional analysis” harus dilakukan. Untuk lebih mudah memahami model yang ditawarkan Skilbeck, gamabr ini mungking bisa membantu:
Model ditas mengkalim bahwa agar School-Based Curriculum Development (SBCD) dapat bekerja secara efektif, lima langkah (steps) diperlukan dalam suatu proses kurikulum. Skilbeck berkata bahwa model dapat diaplikasikan secara bersama dalam pengemban kurikulum, observasi dan peneliaan sistem kurikulum, dan aplikasi nilai dari model tersebut pada nilai dan model tersebut terletak pada pilihan pertama.
Mengingat susunan model ini secara logis termasuk kategori rational by natur, namun Skilbeck mengingatkan bahwa agar tidak terjurumus pada perangkap (trap). Skilbeck mengingatkan bahwa pengembangan kuriulum (curriculum development) perlu mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langakah (stage) tersebut secara bersamaan. Pengertian model di atas sangat sangat membingungkan, karena sebenarnya model tersebutmendukung pendekang rasional daripada pengembangan kurikulum. Namun demikian, Skilbeck berkata: The model outlined does not presuppose a means and analysis at all, it simply encourages teams and or groups of curriculum developers to take account different elements and aspects of the curriculum development process, to the see the process as an organic whole and to wrok in a moderately systematic way
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa alat ini tidak mengisyaratkan suatu alat. Tujuananya adlah menganalisis secara keseluruhan; tetapi secara simbol telah mendorong teams atau groups dari pengembang kurikulum untuk lebih memperhatikan perbedaan-perbedaan elemen dan aspek-aspek proses pengembangan kurikulum, agar lebih bisa melihat proses bekerja dengan cara sistematik dan moderat.
7. Integrated Curriculum
Melalui pembelajaran terpadu, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Peserta didik dilatih untuk dapa menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistis), bermakna, autentik, aktif. Pengalaman belajar yang lebih menunjukkan kaitan unsure-unsur konseptual akan menjadikan proses belajar lebih efektif.
Pembelajaran terpadu dapat dikemas dengan TEMA atau TOPIK tentang suatu wacana yang dibahas dari berbagai sudut pandang atau disiplin keilmuan yang mudah dipahami dan dikenal peserta didik.dalam pembelajaran terpadu, suatu konsep atau tema dibahas dari berbagai aspek bidang kajian. Melalui pembelajaran terpadu ini beberapa konsep yang relevan untuk dijadikan tema tidak perlu dibahas berulang kali dalam bidang kajian yang berbeda, sehingga penggunaan waktu untuk pembahasannya lebih efisien dan pencapaian tujuan pembelajaran juga diharapkan akan lebih efektif.
Namun demikian, pelaksanaannya di sekolah pembelajaran sebagian besar masih dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran masih dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Hal ini disebabkan antara lain karena:
a. Kurikulum itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan masih terpisah-pisah antar bidang ilmu;
b. Meskipun pembelajaran terpadu bukan merupakan hal yang baru, tetapi para guru di sekolah tidak terbiasa melaksanakannya sehingga “dianggap” sebagai hal yang baru.
Bila kita cermati, pendidikan di Indonesia masih menggunakan “Separated Subjek Curriculum”. Dalam kurikulum tipe ini, bahan dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, dimana antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya menjadi terpisah-pisah, terlepas dan tidak mempunyai kaitan sama sekali sehingga banyak jenis mata pelajaran menjadi sempit ruang lingkupnya.
Kurikulum terpadu disebut juga “Integrated Curriculum”. Secara istilah, integrasi memiliki sinonim dengan perpaduan, penyatuan, atau penggabungan dari dua objek atau lebih (Wedawaty, 1990: 26). Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Poerwadarminta (1997: 326), integrasi adalah penyatuan supaya menjadi satu kebulatan atau menjadi utuh. Dalam integrated curriculum, pelajaran dipusatkan pada suatu permasalahan atu topic tertentu, misalnya suatu masalah dimana semua mata pelajaran dirancang dengan mengacu pada topic tertentu. Apa yang disajikan di sekolah, disesuaikan dengan kehidupan anak di luar sekolah. Pelajaran di sekolah membantu siswa dalam menghadapi berbagai persoalan di luar sekolah. Biasanya bentuk kurikulum semacam ini dilaksanakan melalui pelajaran unit, di mana suatu unit mempunyai tujuan yang mengandung makan bagi siswa yang dituangkan dalam bentuk masalah. Untuk pemecahan masalah, anak diarahkan untuk melakukan kegiatan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Struktur horizontal dalam organisasi kurikulum adalah suatu bentuk penyusunan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan pendidikan, isi pelajaran, dan strategi pembelajarannya. Dalam kaitannya dengan struktur horizontal ini terdapat tiga macam bentuk penyusunan kurikulum. Ketiganya ialah (1) separate-subjek-curriculum, (2) correlated-subject-curriculum, dan (3) integrated-curriculum.
Konsep Dasar Integrated Curriculum
Ciri pokok integrated curriculum adalah tiadanya batas atau sekat antramata pelajaran. Semua mata pelajaran dilebur menjadi satu dalam bentuk unit. oleh karena itu, kurikulum ini disebut juga sebagai kurikulum unit. kalau dalam correlated subject curriculum masing-masing mata pelajaran masih menampakkan eksistensinya, maka dalam integrated curriculum ciri-ciri setiap mata pelajaran hilang sama sekali. Namun, jangan disalahpahami, integrated curriculum tidak sekedar berupa keterpaduan bentuk yang melebur berbagai mata pelajaran, melainkan juga aspek tujuan yang akan dicapai dalam belajar.
Melalui keterpaduan diharapkan dapat berbentuk pula keutuhan kepribadian anak didik yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. oleh karena itu, apa yang diajarkan di sekolah harus benar-benar disesuaikan dengan situasi, masalah dan kebutuhan kehidupan di masyarakat.
Ciri-ciri integrated curriculum adalah sebagai berikut:
merupakan kesatuan utuh bahan pelajaran. Faktor yang menyatukan antar bahan pelajaran itu ialah masalah-masalah yang harus diselidiki dan dipecahkan anak didik. Seluruh bahan pelajaran digunakan untuk memecahkan masalah.
unit disusun berdasarkan kebutuhan anak didik, yang bersifat pribadi maupun sosial, baik yang menyangkut kejasmanian maupun kerohanian. dengan sistem unit ini sengaja ditingkatkan perkembangan sosial anak dengan cara bekerja sama melalui kerja kelompok.
dalam unit, anak dihadapkan pada berbagai situasi yang mengandung permasalahan yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari (life centered) yang dikaitkan dengan pelajaran di sekolah. dengan demikian, anak dilatih untuk memecahkan masalah dengan metode berfikir ilmiah, yang dilakukan dengan langkah-langkah.
dalam unit, anak dihadapkan pada berbagai situasi yang mengandung permasalahan yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari (life centered) yang dikaitkan dengan pelajaran di sekolah. dengan demikian, anak dilatih untuk memecahkan masalah dengan metode berfikir ilmiah, yang dilakukan dengan langkah-langkah.
(1) merumuskan masalah,
(2)mencari jawaban dengan mencari dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari buku ataupun sumber lain,
(3) menganalisis, mengamati dan melakukan percobaan,
(4) mengambil kesimpulan, dan
(5)melakukan tindakan sesuai dengan hasil yang diperoleh.
unit mempergunakan dorongan-dorongan sewajarnya pada diri anak dengan melandaskan diri pada teori-teori belajar. anak diberi kesempatan melakukan kegiatan sesuai dengan minatnya. anakpun harus diikutsertakan dalam menetapkan pokok-pokok masalah yang akan diperlajarinya.
pelaksanaan unit biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dari pada model pelajaran biasa. untuk memecahkan satu masalah bisa jadi diperlukan waktu berjam-jam.
Kelebihan Integrated Curriculum
pelaksanaan unit biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dari pada model pelajaran biasa. untuk memecahkan satu masalah bisa jadi diperlukan waktu berjam-jam.
Kelebihan Integrated Curriculum
- segala hal yang dipelajari dalam unit bertalian erat satu sama lain. bukan sekedar fakta-fakta terpisah, sehingga lebih fungsional bagi kehidupan anak.
- sesuai dengan teori baru mengenai belajar yang mendasarkan pada pengalaman, kematangan, dan minat anak. anak terlibat secara aktif, berbuat, serta belajar bertanggung jawab.
- memungkinkan hubungan yang lebih erat antara sekolah dan masyarakat, karena masyarakat dapat menjadi laboratorium kegiatan belajar.
Kelemahan Integrated Curriculum
- tidak mempunyai organisasi yang logis dan sistematis. bahan pelajaran tidak dapat ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh guru atau lembaga, melainkan harus dirancang secara bersama-sama dengan murid.
- para guru umumnya tidak disiapkan untuk menjalankan kurikulum dalam bentuk unit.
pelaksanaan kurikulum unit sangat memerlukan waktu, serta dukungan peralatan dan sarana dan prasarana yang cukup.
pelaksanaan kurikulum unit sangat memerlukan waktu, serta dukungan peralatan dan sarana dan prasarana yang cukup.
- tidak memiliki standar hasil belajar yang jelas, sehingga sulit mengukur kemampuan anak secara nasional.
Comments