>>>Baca juga Kumpulan Judul Skripsi Perdata
>>>Baca Juga Cerita Unik
MEKANISME PENGALIHAN HAK ATAS TANAHDALAM SISTEM HUKUM AGRARIA
A. Tinjauan tentang Pengalihan Hak Atas Tanah
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus.
Ada 2 (dua) cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni
1. Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berarti ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yang mendapatkan suatu hak milik.
2. Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:
1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawali dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengan dibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsung memperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.
2) Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti pemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah juga dapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang sudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi
Hak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi Hak Milik.
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas tanah kapada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya.
Secara khusus Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat.[1]Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak sesuatu yang tidak mutlak.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah; Penjualan, tukarmenukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; Penjualan, tukarmenukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu:
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat dengan UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu:
a. Hak Milik atas tanah.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai. [2]
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sementara dapat dialihkan kapan saja si pemilik berkehendak. Terhadap beberapa hak, hak atas tanah yang bersifat sementara memiliki jangka waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak Usaha bagi hasil. Kepemilikan terhadap hak atas tanah hanya bersifat sementara saja.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hakhak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:
1) Hak Gadai.
2) Hak Usaha Bagi Hasil.
3) Hak Menumpang.
4) Hak Menyewa atas Tanah Pertanian.[3]
Tata cara memperoleh hak atas tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah
sebagai berikut:
1. Permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan berstatus
Tanah Negara.
2. Pemindahan Hak, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak ;
b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada ;
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.
3. Pelepasan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas
tanah, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat ;
b. Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang sudah ada;
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya.
4. Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas
tanah, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;
b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya;
c. Tanah tersebut diperuntukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
Dalam sistem KUHPerdata maupun dalam sistem UUPA kita kenal adanya pengalihan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Pengalihan ini adalah salah satu kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan diantara mereka.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa di dalam KUHPerdata yaitu pada Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa ada lima cara untuk memperoleh hak milik atas suatu kebendaan. Kelima cara tersebut antara lain adalah:
1. Pendakuan ( toeegening )
Pendakuan ini dilakukan terhadap barang-barang yang bergerak yang belum ada pemiliknya (res nullius). Contoh dari pendakuan ini yaitu yang terdapat di dalam Pasal 585 KUHPerdata yaitu pendakuan dari ikan-ikan di sungai, binatangbinatang liar di hutan dan lain-lain.
2. Ikutan (natrekking).
Hal ini diatur dalam Pasal 588 – Pasal 605 KUHPerdata. Yaitu cara memperoleh benda karena benda itu mengikuti benda yang yang lain. Contoh dari natrekking ini adalah: hak-hak atas tanaman, hak itu mengikuti tanah yang sudah menjadi milik orang lain.
3. Lampaunya waktu( Verjaring ).
Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan karena lampaunya waktu. Artinya pemilik yang lama dari benda tersebut tidak berhak lagi atas benda tersebut karena jangka waktu kepemilikannya telah lewat waktu oleh hukum. hal ini diatur dalam Pasal 610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam buku keempat KUHPerdata.
4. Pewarisan ( erfopvolging )
Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu benda tidak bergerak karena terluangnya atau jatuhnya warisan terhadap seseorang sehingga ia berhak atas benda tersebut.
5. Pengalihan Dan Penyerahan (levering).
Ini adalah cara untuk memperoleh hak milik yang paling penting dan paling sering terjadi di masyarakat. Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu kebendaan dari pemilik yang lama kepemilik yang baru.
Pasal 20 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, sifat milik pribadi ini walau dibatasi oleh ketentuan Pasal 6 UUPA dapat dioperkan hanya kepada orang lain dengan hak yang sama.
Umpamanya jika menjual, menghibah, tukar menukar, mewariskan, ataupun memperoleh hak karena perkawinan/kesatuan harta benda, maka hak atas tanah yang semula hak milik tetap akan menjadi hak milik. Hak milik adalah: “Hak turun temurun, artinya hak itu dapat diwariskan berturut-turut tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika
terjadi perpindahan tangan.[4]
Hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh, namun hal ini berbeda dengan hak eeigendom vide Pasal 571 KUHPerdata, di mana dikatakan bahwa hak milik tersebut mutlak tidak dapat diganggu gugat. Hak milik menurut UUPA mengandung arti bahwa hak ini merupakan hak yang terkuat, jika dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan
lain-lain.
Luasnya hak milik juga meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sebagai suatu penjelmaan dari ciri-ciri khas hukum adat yang menjadi dasar hukum Agraria Nasional. Mengenai pertambangan diatur sendiri, yang artinya bahwa untuk melakukan pertambangan di bumi memerlukan suatu izin khusus yang dinamakan kuasa pertambangan. Dengan demikian hak milik ini masih ada
pembatasannya, meskipun dikatakan meliputi seluruh bumi dengan isinya.
Dalam pengalihan hak milik yang merupakan pelaksanaan dari perikatan yang dimaksud, timbul persoalan apakah antara perbuatan hukum lanjutan tersebut dan hubungan hukum yang menjadi dasarnya atau dengan kata lain apakah pengalihan itu tergantung pada alas haknya ataukah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya.
Hubungan antara pengalihan dengan alas haknya ada dua ajaran yaitu ajaran abstrak dan ajaran kausal (sebab akibat). Baik ajaran abstrak maupun ajaran kausal sama-sama, menekankan bahwa sahnya suatu pengalihan bertujuan untuk mengalihkan hak milik tersebut tergantung pada alas haknya harus tegas dinyatakan, sedangkan menurut ajaran abstrak, maka penyerahan itu tidak perlu adanya titel yang nyata, cukup ada alas hak atau titel anggapan saja.
Dari uraian di atas, terlihat hubungan jelas antara perjanjian obligatoir dari perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atau benda tidak bergerak dengan balik nama yang merupakan pengalihan hak milik itu sendiri. Ditegaskan oleh R. Subekti, bahwa: menurut pendapat yang lazim dianut oleh para ahli hukum dan hakim, dalam KUHPerdata berlaku apa yang dinamakan “kausal stelsel” di mana memang sah tidaknya suatu pemindahan hak milik tergantung sah
tidaknya perjanjian obligatoir”.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sahnya atau tidaknya suatu balik nama tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir yang menimbulkan hak dan kewajiban untuk menurut dan melaksanakan isi perjanjian yang berupa pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak tersebut. Di atas telah disebutkan bahwa sah tidaknya suatu balik nama adalah tergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir, dengan demikian sah atau tidaknya perjanjian obligatoir yang menyebabkan timbulnya suatu kewajiban untuk mengalihkan suatu kepemilikan benda tidak bergerak, adalah merupakan syarat sahnya balik nama. Selanjutnya untuk mengetahui sahnya perjanjian obligatoir, maka harus diketahui pula tentang sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan hukum yang menyebabkan timbulnya kewajiban untuk mengalihkan benda tidak bergerak yang merupakan objek dari perbuatan hukum tersebut. Jual beli, tukar menukar maupun penghibahan, adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang disebut perjanjian atau dengan istilah lain “perikatan” dan oleh karena itu untuk sahnya suatu perbuatan hukum tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.
B. Cara-cara Pengalihan Hak Atas Tanah
Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.
Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah ( hak milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
Adapun yang menjadi syarat-syarat terjadinya pengalihan terhadap kebendaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengalihan tersebut haruslah dilakukan oleh orang yang berhak untuk mengalihkan kebendaan tersebut. Tidak selamanya pemilik suatu kebendaan dapat diberikan hak untuk mengalihkan benda tersebut, hal ini dikarenakan suatu hal misalnya saja pemilik suatu kebendaan di dalam keadaan pailit (failiet). Disini ia merupakan pemilik suatu kebendaan tetapi dikarenakan keputusan pengadilan yang mengatakan ia pailit maka ia tidak berhak untuk mengalihkan benda
tersebut.
Adapun sebaliknya orang tersebut tidak merupakan pemilik suatu kebendaan tetapi ia berhak untuk melakukan pengalihan. Misalnya pandamer, di mana pihak ini menerima barang gadaian dari pemilik benda tersebut sebagai jaminan pelunansan hutangnya. Dalam hal ini ia tidak merupakan pemilik yang sah dari suatu kebendaan, tetapi bila pihak yang berhutang dalam hal ini pemilik yang sah dari benda itu ingkar janji atau wanprestasi maka pihak penerima gadai dapat mengalihkan benda tersebut.
2. Pengalihan itu dilakukan secara nyata.
Artinya pengalihan itu harus benar-benar terjadi dan dilakukan secara nyata dari tangan ke tangan. Melihat persyaratan tersebut di atas pengalihan terhadap benda-benda bergerak cukup hanya melakukan penyerahannya begitu saja, tetapi terhadap benda tidak bergerak, pencatatan benda tersebut ke dalam suatu akte sangat penting untuk menetapkan keabsahan benda tersebut. Terhadap benda tidak bergerak, di samping dengan pengalihan nyata, maka untuk mengalihkan hak milik atas barang tidak bergerak tersebut harus dilakukan dengan pengalihan secara yuridis.
Bahwa Pasal 1682 BW menyatakan bahwa hibah terhadap barang tidak bergerak harus dinyatakan dengan akta otentik. Bahwa hibah yang dilakukan Tergugat I kepada Tergugat II tidak dilekatkan dalam suatu akta otentik sebagaimana yang disyaratkan oleh Pasal 1682 KUHPerdata. Oleh karena tanah objek gugatan secara hukum bukanlah milik pemerintah kota Pangkalpinang sebagai pihak pemberi hibah dan pernyataan hibah tidak dinyatakan/dilekatkan dalam akta otentik, maka perbuatan hukum hibah atas objek gugatan kepada Tergugat II adalah batal demi hukum.
Bahwa Tergugat I telah salah dalam mengartikan hak menguasai Negara atas tanah sebagaimana dimaksud UU Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Hak menguasai negara atas tanah menurut UU Nomor: 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria, bukan merupakan domein veerklaring atau hak memiliki pemerintah atas tanah, sebagaimana yang Penggugat sampaikan bahwa pemerintah sebagai badan hukum publik juga merupakan subjek hukum tanah sama halnya dengan hak-hak rakyat lainnya.
Penggugat telah mengusahakan dan menguasai fisik tanah objek gugatan sejak Tahun 1975 atau sudah selama waktu 31 tahun tanpa ada pihak lain yang menggugatnya. Dengan demikian maka status tanah objek gugatan tidak lagi merupakan tanah negara bebas tetapi telah menjadi (berstatus) tanah negara tidak bebas. Sebagai warganegara Republik Indonesia maka menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU. Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Penggugat berhak dan dilindungi hak-haknya untuk memperoleh hak atas tanah negara dan Tergugat I tidak dapat lagi memberikan hak penguasaan atas fisik tanah terhadap tanah yang berstatus tanah negara yang tidak bebas (telah dikuasai/diusahakan) oleh Penggugat.
Bahwa perbuatan Tergugat I yang telah menghibahkan tanah dan memberikan hak penguasaan atas fisik tanah objek gugatan yang telah dikuasai dan diusahakan Penggugat sejak Tahun 1975 kepada Tergugat II dikwalifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) sebagaimana diatur Pasal 2 RO/Pasal 1365 KUHPerdata dan telah melanggar hak-hak subjektif
Penggugat.
Yang dimaksud dengan pengalihan yuridis adalah berupa pencatatan dalam perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas benda tidak bergerak tersebut dalam suatu akte yang otentik di depan para pejabat yang berwenang dan kemudian mendaftarkannya dalam register umum yang telah
disediakan khusus.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya otonomi daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin ( k ) tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga, sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Hal di atas mengartikan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota,
meliputi:
1. Pemberian izin lokasi;
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk pembangunan;
5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
8. Pemberian izin membuka tanah;
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.[5]
Dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan pengaturan meliputi penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun kabupaten/kota.
Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar
keberadaannya oleh para pengambil keputusan. [6]
Mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA. Adapun pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.
Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.[7]
Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA,[8]Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pengalihan hak atas tanah dapat terjadi dikarenakan:
1. Pewarisan tanpa wasiat
Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Pengalihan tersebut kepada ahliwaris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahliwaris, berapa bagian masingmasing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah.
Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk pendaftaran pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya.
2. Pemindahan hak
Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa dikarenakan:
a. Jual-Beli,
b. Hibah,
c. Pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan
d. Hibah-wasiat atau “legaat”
Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai atau langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.
Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia.
Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).
Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.
Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota/ Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang ada di kantor pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.[9]
1. Jual beli
Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah yang disebut “penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Yang diperjualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal.
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: “jual dan beli”. Kata “jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini, terjadilah peristiwa hukum jual beli. Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah).[10]
Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun pada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayar penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya.[11]Menyerahkan secara yuridis berarti si penjual sudah memberikan hak atas kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain.[12]
Mengenai jual beli, pengaturannya dapat dilihat dalam Buku III bab ke V
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan yang rumusannya terdapat di dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Kewajiban dari penjual adalah:
a. Menyerahkan barang yang menjadi obyek jual beli dalam keadaan baik. Artinya barang yang diserahkan itu harus sesuai dengan yang dipesan oleh pembeli dan dalam keadaan baik.
b. Menanggung barang yang diserahkan.
Sebagai pengertian menyerahkan barang disebutkan: “Yang diartikan menyerahkan barang adalah suatu pemindahan hak milik dan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli”.[13]
Sedangkan hak dan kewajiban pihak pembeli adalah:
a. Hak pembeli: menerima barang yang dibeli sesuai dengan pesanan dalam keadaan baik dan aman tenteram.
b. Kewajiban pembeli:
1) Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai dengan janji yang telah dibuat. Harga yang dimaksud merupakan harga yang wajar.
2) Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli itu, misalnya ongkos antar, biaya surat menyurat, biaya akta dan sebagainya, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
2. Berdasarkan Hibah
Menurut R. Subekti perkataan ‘penghibahan’ (pemberian) dalam Pasal 1666 KUHPerdata selanjutnya dipakai dalam arti yang sempit, karena hanya perbuatanperbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut dengan penghibahan, misalnya dengan syarat dengan cuma-cuma yaitu, tidak memakai pembayaran, disini orang lazim mengatakan adanya suatu ’formele schenking’ yaitu suatu penghibahan
formil”,[14]
Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah itu berkonsentrasi memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah. Pasal 1667 KUHPerdata menyebutkan penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa objek dari hibah haruslah benda yang sudah ada dan merupakan milik si penghibah. Pasal 499 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut: ”Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Dengan demikian menurut Pasal 499 KUHPerdata tersebut, di samping hak maka barang pun yang dapat dikuasai oleh hak milik adalah merupakan kebendaaan, menurut paham undang-undang.
Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan bahwa “Pada umumnya yang diartikan dengan benda (benda berwujud, bagian kekayaan) ialah sesuatu yang dapat dikuasai oleh manusia dan dapat dijadikan objek hukum (Pasal 449 KUHPerdata).
Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan dengan istilah subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban)” [15]Di samping hal tersebut di atas, maka kata dapat yang terdapat dalam Pasal 449 KUHPerdata tersebut membuka berbagai kemungkinan, hukum), dalam arti di mana dipakai sebagai lawan dari pada orang sebagai subjek hukum”.
Ad. a. Benda bertubuh dan benda tidak bertubuh
Bila diperhatikan KUHPerdata, maka kata zaak tidak hanya dipakai barang yang berwujud atau yang bertubuh saja, misalnya Pasal 508 KUHPerdata yang menentukan beberapa hak, Pasal 511 KUHPerdata juga beberapa hak. Zaak dalam pasal tersebut dipakai dalam arti “bagian dari harta kekayaan, dan inilah yang merupakan benda atau barang tidak bertubuh. Dengan demikian sistem hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, benda dapat dibedakan sebagai berikut:”Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang tidak berwujud (onlichamelijk)”. [16]
Sebagaimana seseorang dapat menjual dan menggadaikan benda bertubuh, ia juga dapat menjual atau menggadaikan hak-hak benda yang tidak bertubuh. Misalnya: hak erfpacht atau hak usaha yaitu usaha hak kebendaan untuk dinikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya baik berupa uang, hasil atau pendapatan (Pasal 7201 KUHPerdata).
Ad. b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
Tahapan benda bergerak (roerende zaak), Undang-undang
membedakannya atas benda bergerak karena sifatnya dan berdasarkan ketentuan undang-undang. Pembedaan berdasarkan sifatnya seperti yang ditentukan Pasal 509 KUHPerdata memberi arti bahwa yang dimaksud dengan benda bergerak menurut sifatnya adalah benda yang dapat dipindahkan (verplaats baar), misalnya meja, kursi, lemari, dan lain-lain.
Sedang yang dimaksud dengan benda bergerak berdasarkan Pasal 511
KUHPerdata:
a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.
b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan baik bunga-bunga yang abadi maupun bunga cagak hidup.
c. Perkaitan-perkaitan dan tuntutan-tuntutan, mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak.
d. Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau persekutuan perusahan, sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaaan tidak bergerak. Serosero atau andil-andil itu dianggap merupakan kebendaan tidak bergerak akan tetapi hanya terdapat para pesertanya selama persekutuan berjalan.
Apabila terhadap benda dibedakan atas dua jenis, maka terhadap benda tidak bergerak (ontoerende zaaken) pembedaaannya ada tiga jenis yaitu:
1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata).
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya (Pasal 507 KUHPerdata).
3. Benda tidak bergerak dikarenakan ketentuan-ketentuan undang-undang
(Pasal 508 KUHPerdata).
Ad.c Benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis
Benda yang dapat dipakai habis (verbruikbaar zaken), misalnya: beras, gula, susu dan lainnya, sedangkan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar zaken) ialah suatu benda meskipun dipakai terus menerus atau berkali-kali tidak akan habis karena pemakaiannya tersebut. Misalnya rumah, mobil dan lainnya.
C. Mekanisme Pengalihan Hak Atas Tanah
Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
1) Surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat:
1. Telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
2. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.
3. Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya.
4. Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.[17]
Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa hukum adat di Indonesia pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam hak pembuktian penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan pengakuan oleh masyarakat atau diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat, juga hal ini sebagai pemberian perhatian terhadap perbedaan dalam perkembangan kondisi dan kehidupan sosial masyarakat.[18]
Pengalihan hak milik tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan:
1. Pengalihan hak milik terjadi karena jual beli, hibah, warisan, tukar menukar dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
2. Pengalihan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3. Setiap pengalihan hak milik atas tanah atau perbuatan yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik pada orang asing atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia rangkap dengan orang asing yang boleh mempunyai hak milik adalah batal dengan sendirinya dan tanah jatuh pada negara.
D. Penguasaan Fisik dari Tanah
Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi pernyataan tentang penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu sudah berlangsung secara turun-temurun dan atas dasar itikad baik selama 20 tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya.
Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum.[19]Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda tangan dan kesaksian dalam surat tersebut. Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah yang telah didaftarkan tersebut.
Terwujudnya kepastian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkronisasi peraturan yang ada. Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.
Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon
pendaftaran tanah antara lain berisi:
1. Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya. Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.
2. Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
3. Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian. Dalam kenyataan yang banyak terjadi, meskipun persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar
penerbitan Sertifikat Hak Milik.
Beberapa persoalan mengenai pertanahan yang sering terjadi ini adalah
sebagai berikut:
1. Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan hanya sekedar menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.
2. Keberadaan surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan
Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di
bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat:
1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak
lainnya.
2) Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang
kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.
E. Hak Penguasaan Atas Tanah
Konsepsi atau falsafah yang mendasari Hukum Adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menandaskan bahwa di dalam Hukum Adat manusia bukan individu yang terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Di dalam Hukum Adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan Hukum Adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.
Tanah bersama itu merupakan ‘pemberian/anugrah’ dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, maka semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut.
Berdasarkan pemahaman atas konsepsi di atas, maka differensias Hak
Penguasaan Atas Tanah (HPAT) menurut Hukum Adat terdiri atas: Hak Ulayat ( hak komunal) dan hak-hak individual atas tanah. Hak ulayat merupakan HPAT yang tertinggi dalam Hukum Adat. Dari Hak Ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual).
Hak Ulayat (van Vollen Hoven menyebutnya beschikkingsrecht, Soepomo menyebutnya Hak Pertuan, ter Haar mengistilahkannya Hak Pertuanan; sedangkan kosa kata ulayat oleh masyarakat Minang). Subyek Hak Ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada Anggota Masyarakat Hukum Adat (AMHA) dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para AMHA secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa AMHA dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari Hak Ulayat sebagai Hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi Hak Ulayat. Kewenangan untuk mempergunakan oleh para AMHA itulah yang disebut dalam Hak Ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, Hak Ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.
Selanjutnya, agar Hak Ulayat dapat terus/lestari sebagai penopang hidup para
AMHA, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari Hak Ulayat.
Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah. Ketentuan itu dalam kepustakaan Hukum adat dikelompokkan dalam bagian yang disebut ‘Hukum Tanah’.
Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruangangkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan ‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektiviteit daripada komunal (communal).[20]
Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’.
Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.
Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’, masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain. Bahkan Van Vollen Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. Oleh karena itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.
Menurut Herman Soesangobeng, bila disederhanakan akan tampak
sebagaimana pada tabel berikut in:
Tabel 1
Proses Lahirnya Hak Atas Tanah
NO. | T A H A P A N | JENIS HAK |
1. | Pencarian dan pemilihan lahan | Hak Wenang Pilih |
2. | Pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemberian tanda larangan atas tanah | Hak Terdahulu |
3. | Membuka dan Mengolah Tanah | Hak Menikmati |
4. | Pengolahan tetap secara terus menerus | Hak Pakai |
5. | Mewariskan Tanah | Hak Milik |
Sumber: Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, 1998
Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada
tanahnya. [21]
Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimilikioleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati.Baru setelah Hak Menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi Hak Pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka Hak Pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini
Dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hakhak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.
Dalam pada itu, jika dilakukan penyederhanaan, maka differensiasi Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:
1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat AMHA atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat),
yang terdiri atas:
1. Hak Milik (hak AMHA yang diperoleh secara turun-temurun);
2. Hak Pakai (hak AMHA yang diperoleh dengan mengolah bagian dari
wilayah adat).
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Misalnya tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa menguasai secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak, maka dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya kembali tanah tersebut secara fisik kepadanya.
Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis, yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik Misal kreditor pemegang hak jaminan atas tanah, mempunyai hak menguasai secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaan secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolak pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah Negara yang bersangkutan.
Dalam Hukum Tanah Nasional terdapat bermacam-macam penguasaan hak
atas tanah, dapat disusun jenjang atau hierarki yaitu:
Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA)
1. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA)
2. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3 UUPA)
3. Hak-hak Individu:
a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA) ;
1) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.
2) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa dan lain-lainnya.
b. Wakaf (Pasal 49 UUPA)
c. Hak Jaminan atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23,33,39, 51 dan Undangundang Nomor 4/1996.[22]
F. Dasar Hukum Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah
Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum, dalam pendaftaran pengalihan hak atas tanah dengan status hak milik karena hibah, diterbitkan peraturan perundang-undangan yang berlaku masa pembangunan jangka panjang. Adapun Dasar Hukum dari Kegiatan Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah dengan Status Hak Milik Karena hibah, adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, menyebutkan bahwa: “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
2. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria.
a. Pasal 19 ayat 1 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
b. Pasal 23 ayat 1 dan 2
1) Hak milik demikian pula setiap pengalihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya pengalihan dan pembebanan hak
tertentu.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
a. Pasal 1 ayat 1
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
b. Pasal 37 ayat 1 dan 2
(1) Pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,kecuali pemindahan hak lainnya melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala
Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan diantara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.
c. Pasal 40 ayat 1 dan 2
(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftar.
(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada para pihak yang bersangkutan.
d. Pasal 46 ayat 1, 2 dan 3
(1) Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran pengalihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi:
a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan;
b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1 tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2 ;
c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran pengalihan atau pembebanan hak yang bersangkutan tidak lengkap;
d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan;
e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di pengadilan;
f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
g. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.
(2) Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebut alasan-alasan penolakan itu.
(3) Surat penolakan disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT atau Kepala Kantor lelang yang bersangkutan.
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 (Pendaftaran Tanah).
[1] Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, 1998, hal. 4.
[2] Ibid
[3] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 64. Pendapat lain menayatakan bahwa disebut sebagai hak yang bersifat sementara karena eksistensinya pada suatu saat nanti akan dihapuskan, karena mengandung sifat-sifat yang kurang baik bertentangan dengan jiwa UUPA.
[4] Budi Harsono, Op. Cit, hal. 371
[5] M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press, Pekanbaru, 2005, Hal.9.
[6] Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 63-64
[7] Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
[8] Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PA Tahun 1960, maka Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
[9] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 329.
[10]Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. hal.128.
[11] Ibid., hal. 27.
[12] Adrian Sutedi, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 34.
[13] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 60
[14] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. hal. 56
[15] Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Penerbit:
PT. Alumni Bandung, 1983. hal.35.
[16] Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.Cit. hal. 43
[17] Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar
Maju, Bandung, 2010. hal. 144
[18]Ibid. dalam kasus putusan No. Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor: 18/PDT.G/2006/PN.PKP tanggal 13 Maret 2007 dinyatakan bahwa Bahwa diantara 21 (dua puluh satu) orang masyarakat pemohon hak penguasa fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa orang warga surat keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah Rejosari, sedangkan beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk Penggugat belum keluar/diberikan surat keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasanyang jelas
[19]Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang dimaksud antara lain:
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971 ,
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973 , -Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.
[20] Herman Soesangobeng, Op. Cit. hal. 4.
[21] S. Hendratiningsih, A. Budiartha dan Andi Hernandi. “Masyarakat dan Tanah Adat di Bali” Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008. Hal. 8.
[22]“Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional”. http://id.shvoong.com/law-andpolitics/1954099-hukum-agraria-indonesia/#ixzz1PDV7qzeE, diakses tanggal 20 Juli 2011.
Comments