BAB I
PROBLEMATIKA ASAS LEGALITAS
DALAM RANCANGAN KUHP 2005
Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
- Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
- Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.
- Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun, Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi. Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi Hamzah, merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah, pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Padahal, seharusnya asas legalitas merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas pengertiannya. Tercakup di situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal, bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas, yaitu: masalah asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
BAB II
ARTI PENTING ASAS LEGALITAS
2.1.Asas Legalitas dan Aspek-aspeknya
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas.2 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat).
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang. Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.7 Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.
- · Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang tersebut.
- · Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes)10. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.
- · Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.
Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa. Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.
- · Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara. Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya, bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi20, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.
Comments