MANUSIA GEROBAK
Hari masih gelap. Matahari belum keluar. Satu dua kendaraan melintas. Namun derunya tak mengganggu dua bocah kecil. Mereka lelap dalam gerobak ..di kawasan Menteng, Jakarta. Seorang gadis mungil menggeliat. Matanya terpejam rapat. Di sebelahnya, bocah lelaki meringkuk dengan mata setengah terbuka. Sayup terdengar panggilan ibunda tersayang. "Ayo bangun, sudah siang." Si ibu menyingkap atap plastik yang menyelubungi mereka di dalam gerobak. Digoyangnya tubuh gadis dan bujang kecilnya, sehingga keduanya terbangun enggan.
Atap plastik digulung. Keduanya, Lala dan Slamet, turun lewat bawah gerobak yang rupanya dibuka dengan sistem knock down. Tanpa banyak kata, keduanya pindah ke tepi jalan di sebelah gerobak.
Keduanya jongkok terbengong. Tatap mereka kosong, meski terarah pada arus lalu lintas yang mulai ramai. Mereka menunggu si ibu yang melipat plastik dan tumpukan pakaian yang telah digunakan sebagai bantal. Si ayah tak terlihat.
Si ibu memasukkan seluruh pakaian itu ke dalam plastik "kresek" hitam. Lalu ia sampirkan pada pegangan gerobak. Dengan rambut semrawut, perempuan itu memutar arah gerobaknya. Ia memanggil kedua permata hatinya untuk mengikutinya. Dengan rasa enggan, keduanya tetap bangkit.
Bertiga mereka menuju Kali Gresik di Jl Sutan Sjahrir. Si ibu turun ke dasar kali membuka pakaian dan menyiram tubuhnya dengan air yang mengalir dari gorong-gorong yang mengalirkan limbah air perumahan elite Menteng.
Separuh kakinya terbenam dalam lumpur. Ia memanggil kedua anaknya dan memandikannya dengan air yang sama. Ia cuci juga pakaian anaknya dan menjemurnya di pepohonan di pinggir kali.
"Sebetulnya air itu bersih," kata perempuan itu. Nun jauh di dalam gorong-gorong, menurut dia, ada pipa PAM pecah. Air itu mengalir terus ke kali. Dan ia menggunakannya untuk mandi dan mencuci pakaian.
Hari mulai terang. Deru mobil hiruk-pikuk. Perempatan Jl Teuku Umar mulai ramai. Namun perempuan yang setengah telanjang itu tak terusik. Ia tampaknya juga tak terganggu mata-mata risih yang memandangnya dari balik jendela kendaraan. Badannya yang tanpa busana memunggungi pandangan orang.
Setelah berganti pakaian, mereka kembali ke gerobak yang diparkir di tepi jalan. Kali ini sang ayah, dengan rokok di mulutnya, menanti dan siap mengajak mereka berkeliling. Dedeh. Sebutlah begitu namanya. Sudah hampir setahun, ia tinggal di tepi Jalan Jawa bersama suami dan dua anak bocahnya. Mereka hidup layaknya kaum Gipsy yang berpindah tempat. Namun idealismenya berbeda. Gipsy berpindah dengan karavan karena memang kebiasaan hidup. Dedeh melakoninya karena keterpaksaan.
Sebuah rumah dan pekerjaan bagi penduduk Jakarta amatlah mahal. Jangankan untuk memiliki, untuk mengontrak pun terlalu sulit. Jangankan pula untuk mengontrak rumah, untuk makan pun tak cukup. Pendapatan mereka hanya untuk sekali makan dalam sehari.
Dedeh dan suaminya hanya memiliki sebuah gerobak butut untuk tempat tinggal. Di situ, ia beserta suami dan anaknya tidur. Di situ juga ia menyimpan sedikit pakaian. Dengan alat itu juga mereka hidup.
Siang hari, gerobak adalah media kerja. Dengan benda roda dua yang dibeli seharga Rp 125 ribu itu, Dedeh dan suaminya Ripto (bukan nama sebenarnya), mengais rezeki. Mereka memunguti koran, bungkus rokok, kertas, botol kemasan air, dan tentu saja kardus bekas.
"Untuk makan saja kami keteteran," kata Ripto. Ia mengaku malu telah gagal sebagai suami dan orang tua seraya menunjuk dua anaknya yang badannya makin kurus. Penghasilannya dari mengumpulkan barang bekas tak mencapai Rp 10 ribu. Padahal keluarganya terdiri dari empat orang. Dengan uang itu, ia kadang hanya makan sekali atau paling banyak dua kali sehari.
Lala dan Slamet sebetulnya dua dari empat anak mereka. Keduanya dalam kondisi sakit dan sulit sembuh. Batuk dan suhu badan mereka tinggi, sulit turun lantaran tidur pun dilakukan di udara terbuka. Dari hidung mereka meleleh cairan kental kehijauan.
Ripto tak punya pilihan. Ia tetap membawa kedua anaknya bekerja, atau kadang meninggalkan mereka bermain di tepi kali, hingga ia pulang membawa makanan.
Seorang anaknya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Satu lagi yang lebih besar telah mencari uang sendiri-menjadi pengamen.
Ripto biasa membawa anak-anaknya bekerja. Ia mendorong gerobaknya dari rumah ke rumah. Mereka mengorek isi tempat sampah untuk mencari benda yang masih bisa ditukar dengan sebungkus makanan. Pagi, saat orang membersihkan rumah dan membuang benda yang dianggap tak berguna, adalah waktu bekerja bagi Ripto dan keluarganya.
Ripto bukan satu-satunya yang melakukan pekerjaan itu. Di Jl Jawa sedikitnya terdapat 25 gerobak. Anak balita kerap tampak berkeliaran di tepi jalan. Berpakaian lusuh. Kulit kotor dan berkoreng.
Di Jl Tanjung, Jl Sutan Sjahrir, Stasiun Cikini dan Gondangdia, serta jalan-jalan lain di sekitar Menteng, gerobak dan anak-anak menjadi pemandangan rutin. Dan barangkali orang pun akan memandangnya sebagai manusia biasa ... yang tak kekurangan apa pun.
"Kami semua senasib. Makanya seperti saudara," kata Ripto yang berasal dari Jawa Tengah. Mereka berasal dari daerah berbeda. Dedeh dari Lampung.
Keluarga Jiran dari Surabaya, Ramly dari Tangerang, dan banyak lagi yang seolah hidup menyatu dengan alam.
Sepanjang siang mereka berkeliaran. Baru menjelang sore, kelompok gerobak ini membawa temuan mereka ke sebuah agen di dekat Stasiun Gondangdia. Kertas dan aneka barang bekas lainnya ditukar dengan uang yang tak seberapa. Biasanya satu kilogram kertas bekas dihargai Rp 150 hingga Rp 250. Setelah memperoleh uang mereka pulang kembali ke Jl Jawa. Lala dan Slamet, serta bocah-bocah lain kawan mereka, terbiasa dengan kehidupan itu. Mereka duduk dalam gerobak, menjadi satu dengan kardus dan botol bekas, selagi ayah dan ibu mereka berkeliling. Kadang yang terlihat hanya kepala mereka, menyembul di antara tumpukan kardus. Seperti layaknya pekerja, mereka juga punya jam istirahat. Siang sekitar pukul 13.00 adalah saat mereka mengaso. Lihat saja tepi Kali Gresik. Di bawah pepohonan, mereka menggelar alas dan merebahkan badan-lalu terlelap sesaat.
Momen ini kadang dimanfaatkan Lala dan Slamet, dua anak berusia tujuh dan empat tahun, mengemis di perempatan jalan. "Lumayan juga hasilnya. Kadang bisa untuk beli nasi," kata Dedeh.
Ia bercerita, anaknya, Slamet sudah memasuki usia sekolah. Namun sekolah bukan perkara sederhana. Butuh seragam, baju sekolah, dan tentu saja biaya.
Bagi dia yang rumah dan kadang untuk makan pun tiada, jalan dan alam raya adalah pilihan satu-satunya.
Kapasitas gerobak yang sangat terbatas tak memungkinkan Dedeh leluasa bergerak. Tak seperti keluarga lain yang hidup normal, Dedeh bahkan tak pernah memasak. Ia tak punya kompor dan panci atau alat memasak lainnya.
"Di mana kami bisa masak?"
Alasannya bukan sekadar lantaran ia hidup berpindah, tetapi juga karena tak ada tempat menyimpan. Belum lagi jika ada penertiban. Memasak di taman tentu terlarang. Dan ia tak mau mengambil risiko alat-alatnya diangkut saat ia sedang menanak nasi. Bisa mengaso di depan pagar rumah mewah tanpa diusir saja, menurut dia, sudah merupakan anugerah.
Sebungkus nasi dengan lauk tempe goreng kini mencapai Rp 2.000. Dengan penghasilan suaminya yang hanya Rp 6.000 hingga Rp 10 ribu, ia hanya bisa membeli tiga bungkus. Untuk mengisi waktu, suaminya masih merasa perlu merokok dan anaknya kadang meminta jajan.
Menjelang malam baru Dedeh dan anaknya kembali ke Jl Jawa. Setelah memesan dua bungkus nasi yang dimakan berempat, mereka bersiap tidur. Ny Dedeh menggelar kardusnya di tepi jalan. Sementara suaminya menyulut sebatang rokok.
Di tepi jalan depan rumah mewah, Dedeh menidurkan dua bocahnya yang segera terlelap. Malam itu, cuaca cukup cerah. Ia bergegas menutup gerobak dengan plastik yang biasanya hanya dipasang saat hujan. Suaminya memberi isyarat untuk berada di dalam gerobak, berdua saja, tanpa anak-anak. Dedeh cukup mengerti
Comments