TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA PEMERINTAHAN ; ANTARA PRIBADI DAN JABATAN

Tanggung Jawab Penyelenggara Pemerintahan: Antara Pribadi dan Jabatan
Dalam ajaran hukum dikenal istilah tindakan hukum, yang menurut R.J.H.M. Huisman, diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu,  atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht), yang kemudian digunakan juga dalam Hukum Administrasi, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administratieve rechtshandeling). Menurut H.J. Romeijn, tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Secara garis besar, perbuatan hukum pemerintah itu dapat berbentuk perbuatan hukum di bidang peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), dan perbuatan hukum perdata (materiale daad). Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan hukum itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki agar ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain, maka perlu diselesaikan melalui lembaga peradilan.[1]
Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain (masyarakat) oleh penyelenggara tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan, terlebih dahulu perlu dikemukakan tentang jabatan pemerintahan yang dilekati fungsi dan kewenangan pemerintahan.
Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is ambtenorganisatie”[2] dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan,”elke werkzaamheid van de overhead, welke niet als wetgwving of als rechtspraak is aan te merken”.[3] Tugas dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat.
Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai dengan prinsip “deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.

Tanggungjawab Jabatan
Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat.[4]Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam bidang publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada dasarnya juga melekat pada jabatan.
Tanggungjawab jabatan ini berkenan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R. Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab. Berkenan dengan perbuatan hukum, jawabannya jelas. Perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan, yakni pihak yang diwakili. Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri, karena itu meletakan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya.[5]
Meskipun kewenangan itu melekat pada jabatan yang membawa konsekwensi melekatnya tanggung jawab pada jabatan yang bersangkutan, namun dapat saja dalam pelaksanaan kewenangan itu tanggung jawabnya dibebankan kepada pribadi (in persoon) pejabat.

Tanggungjawab Pribadi
Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tindakan maladministrasi.
F.R.Bothlingk mengatakan bahwa pejabat atau wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan situasi dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak ketiga.[6]Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan maladministrasi.
Maladministrasi berasal dari bahasa Latin malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah “ Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik, disebutkan dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan (berlarut-larut), tidak menangani, melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, diluar kompetensi, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan prosedur, bertindak sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didalamnya ada unsure maladministrasi dan merugikan warga Negara, tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut.
Di atas telah disebutkan bahwa UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan peraturan pelaksanaannya menganut teori tanggung jawab jabatan, namun dalam perkembangannya, khususnya setelah perubahan UU PTUN No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986, dianut pula tanggung jawab pribadi. Berdasarkan Pasal 116 ayat (4) UU No 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”, dan dalam ayat (5) disebutkan bahwa “Pejabat yang tidak melaksanakanputusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”. Dalam penjelasannya tidak disebutkan apakah ketentuan Pasal 116 ayat (4) dan (5) ini merupakan tanggung jawab jabatan atau pribadi, namun jika dicermati dari latar belakang dan semangat perubahan undang-undang ini tampak bahwa ketentuan pasal ini dimaksudkan sebagai tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, UU PTUN saat ini menganut tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Adapun kapan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi itu diterapkan, tergantung pada dalam hal apa dan bagaimana perbuatan atau tindakan pemerintahan itu dilakukan.




Bagir Manan mengatakan bahwa peraturan kebijakan
bukan peraturan perundang-undangan sehingga asas-asas pembatasan dan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada
peraturan kebijakan. Suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum
(wetmatigheid), karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundangundangan
untuk keputusan membuat peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan
dibuat berdasarkan Freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara
yang bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik karena
secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak
berwenang mengatur). Selanjutnya dikatakannya bahwa pengujian terhadap
peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu
ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak12.
Dengan demikian tidak mudah untuk menentukan apakah suatu peraturan
benar-benar merupakan suatu peraturan perundang-undangan serta apakah suatu
keputusan benar-benar suatu keputusan. Bagir Manan dan Kuntana Magnar
mencontohkan Undang-Undang tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(APBN) atau Undang-Undang tentang Perubahan Anggaran, dilihat bentuk
hukumnya adalah Undang-Undang, tetapi dilihat dari segi isi atau materinya akan
lebih mendekati ketetapan daripada peraturan perundang-undangan. Begitu pula
dengan Undang-Undang tentang pembentukan Pengadilan Tinggi atau
pembentukan suatu Daerah Tingkat II lebih bersifat penetapan daripada suatu
peraturan perundang-undangan13.



Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hukum dan atau tindakan faktual, maka dengan demikian subyek hokum tidak hanya terbatas pada orang atau badan hukum perdata saja ( seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan), akan tetapi juga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan sehingga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat dikategorikan sebagai subyek hukum. Dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, maka Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hokum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum.
Lutfi Effendi2, menggolongkan perbuatan pemerintah ke dalam dua golongan perbuatan, yakni golongan yang bukan perbuatan hukum dan golongan perbuatan hukum. Perbuatan pemerintah yang bukan perbuatan hukum adalah suatu tindakan terhadap masyarakat yang tidak mempunyai akibat hukum dan tidak perlu ada sanksi hukum bila perbuatan tersebut tidak terlaksana, misalnya Walikota mengundang masyarakat untuk menghadiri acara ulang tahun dirinya, atau Presiden mengunjungi panti asuhan, dan Presiden menghimbau agar masyarakat hidup sederhana serta peresmian proyek-proyek pemerintah yang telah selesai dilaksanakan. Sedangkan perbuatan hukum adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum. Secara umum perbuatan hukum pemerintah dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yakni perbuatan hukum yang bersifat hukum privat dan perbuatan hukum yang bersifat hukum publik;
Tindakan hukum privat (perdata) yang dilakukan oleh pemerintah contohnya pemerintah mengadakan perjanjian sewa-menyewa, jual-beli, utang-piutang dengan pihak swasta atau pihak lain dan tindakan hukum perdata lain yang cirinya adalah bersegi dua. Sedangkan tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah cirinya adalah bersegi satu yang dapat berbentuk keputusan yang bersifat konkrit, Individual dan final serta dapat pula berbentuk peraturan yang bersifat mengatur secara umum.


Sebagai bagian dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kewenangan pembuatan kebijakan melekat pada jabatan pemerintahan (inherent aan het bestuur) yang dijalankan oleh pejabat pemerintahan, dan ternyata telah menyebabkan banyak pejabat yang menjadi tersangka bahkan terpidana. Di sisi lain, dianut suatu pendapat bahwa kebijakan pemerintah itu tidak dapat dipersoalkan secara hukum. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, suatu kebijakan tidak mungkin diajukan ke pengadilan apalagi dikenakan hukum pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada. Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.[7]

Menurut Hadjon, bahwa kebijakan penguasa tidak dapat digugat didasarkan pada prinsip beleidsvrijheidyang ada pada penguasa. Beleidsvrijhneid penguasa meliputi; tugas-tugas militer, politonil, hubungan luar negeri, pekerjaan untuk kepentingan umum, keadaan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu atau dalam mengambil tindakan darurat (Philipus M Hadjon:2007:119). Sementara Amarullah Salim (1994:157-158) mengatakan bahwa perbuatan kebijakan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilai sesuai dengan yurisprudensi dan ilmu hukum.
Jika dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum, namun ternyata dalam praktek yang selama ini terjadi pembuat kebijakan diproses secara hukum dan ditetapkan sebagi tersangka bahkan terpidana. Hal ini menimbulkan pertanyaan Dalam hal apa tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi diterapkan dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintahan? Serta apakah ada batasan norma hukum yang dapat diterapkan terhadap kebijakan pemerintahan?

Penutup

Mewujudkan tujuan negara dalam kajian Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara selalu menuntut kita untuk mengkaji bagaimana negara itu dijalankan, dan bagaimana sistem yang dipakai untuk mewujudkan tujuan negara itu. Sejauh ini, beberapa sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, mengalir dengan banyak pengembangan-pengembangan. Misalkan saja, dahulu diketahui terdapat banyak negara yang menerapkan monarki sebagai sistem dalam penyelenggaraan negara. Sistem yang meletakkan kekuasaan di tangan seorang raja ini pada akhirnya berkembang ke arah yang berlawanan, dimana kekuasaan lebih cenderung dibagi kepada rakyat (perwakilannya) atau setidaknya berdasarkan aturan yang berlaku. Oleh karenanya, zaman modern banyak juga yang mengklaim menerapkan demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) walau bentuk negaranya adalah kerajaan (monarki). Model ini populer dengan “monarki konstitusional”.[8]


Diskusi mengenai tujuan pembentukan suatu negara telah terjadi sejak masa lampau, bahkan ketika istilah negara itu belum muncul. Hingga kini, perdebatan tentang tema ini seolah tidak habis dibicarakan. Perkembangan yang terus terjadi menjadi salah satu faktor utama, mengingat efek yang ditimbulkannya juga memberi pengaruh pada ukuran dan bentuk kesejahteraan rakyat itu sendiri, misalnya. Dalam konteks Indonesia, eksistensi pembicaraan serta perdebatan tentang tema ini, menyiratkan makna bahwa kesejateraan rakyat  masih menjadi pertanyaan utama hingga saat ini. Padahal, sebagai dokumen tertinggi, UUD menunjukkan dengan jelas bahwa kesejahteraan bangsa adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan empat tujuan bernegara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Teori tanggung jawab
Tanggung jawab pribadi dan jabatan
Sumber jabatan
 



[1] Ridwan HR, Peradilan Tata Usaha Negara: Wujud “Keberhasilan” Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru, Makalah sebagai bahan kuliah pada Magister Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII, 2011, hlm. 5
[2] (Logemann, 1854:88)
[3]  (C.J.N.Versteden dalam Julista. Mustamu, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan,  Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 6
[4] (Logemann, 1958:89)
[5] (F.R.Bothlingk: 1954:137)
[6] (F.R.Bothlingk, 1954:142)
[7] Arifin P Soeria Atmadja:2008:198
[8] Baca dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,  hal: 79-80

Comments